Penonaktifan Seseorang Dari Jabatan Setelah Terperiksa KPK Dinilai Tidak Adil

Oleh : Robert CH. Sitorus,S.H Penulis : Pengamat Hukum Ketenagakerjaan dan Advokat.
Jakarta, FajarNews — Penonaktifan seseorang dari jabatan setelah diperiksa KPK meski belum ada ketetapan hukum dapat dilakukan berdasarkan kewenangan administratif lembaga, bukan sebagai bentuk sanksi pidana. Ini masuk ranah hukum administrasi, bukan pidana.
Dasar Hukum Penonaktifan Setelah Diperiksa KPK
Penonaktifan seseorang dari jabatan setelah diperiksa oleh KPK, meskipun belum ada ketetapan hukum (putusan pengadilan), biasanya dilakukan sebagai langkah administratif dan preventif. Dasar hukumnya meliputi:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memberikan kewenangan kepada pimpinan KPK untuk mengambil tindakan administratif demi kelancaran proses penyidikan dan menjaga integritas lembaga.
Peraturan internal lembaga atau instansi tempat orang tersebut bekerja, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau Peraturan Kepala Lembaga, yang mengatur bahwa pegawai atau pejabat yang sedang diperiksa atau diduga terlibat kasus korupsi dapat dinonaktifkan sementara demi menjaga netralitas dan mencegah konflik kepentingan.
Asas pemerintahan yang baik, seperti asas akuntabilitas, kepastian hukum, dan proporsionalitas, yang memungkinkan tindakan administratif diambil meski belum ada putusan pengadilan.
Ranah Hukum: Administratif, Bukan Pidana
Penonaktifan ini bukan sanksi pidana, melainkan tindakan administratif. Artinya:
Tujuannya bukan menghukum, tetapi menjaga proses hukum tetap objektif dan mencegah potensi gangguan.
Tidak memerlukan putusan pengadilan terlebih dahulu.
Bisa diuji secara hukum melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dianggap melanggar hak.
Apakah Ini Masuk Ranah Hukum?
Ya, ini masuk ranah hukum administrasi negara, bukan pidana. Status “baru terperiksa” bukan berarti bebas dari tindakan administratif. Dalam praktiknya:
Seorang pejabat atau pegawai yang diperiksa KPK bisa dinonaktifkan sementara untuk mendukung proses hukum.
Penonaktifan ini tidak berarti bersalah, tetapi sebagai bentuk kehati-hatian dan menjaga kredibilitas lembaga.
Penonaktifan bukan bentuk penghukuman, melainkan tindakan administratif yang sah menurut hukum.
Belum ada ketetapan hukum pidana tidak menghalangi tindakan administratif seperti nonaktif dari jabatan.
Jika dianggap tidak adil, putusan penonaktifan bisa digugat ke PTUN untuk diuji legalitasnya
Jenis pelanggaran yang bisa digugat terkait penonaktifan jabatan meliputi pelanggaran prosedur administratif, pelanggaran hak ASN, dan keputusan yang tidak mempertimbangkan substansi hukum. Contohnya termasuk pemecatan tidak hormat tanpa dasar hukum yang kuat atau tanpa proses pemeriksaan yang adil. Solusinya adalah melalui keberatan administratif dan gugatan ke PTUN.
Jenis Pelanggaran Penonaktifan Jabatan yang Bisa Digugat dan Solusinya
Dalam konteks hukum administrasi negara di Indonesia, penonaktifan atau pemberhentian dari jabatan seseorang, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN), harus dilakukan sesuai prosedur dan berdasarkan alasan hukum yang sah. Jika tidak, maka keputusan tersebut bisa digugat.
Jenis Pelanggaran yang Bisa Digugat
1. Pelanggaran Prosedur Administratif
Penonaktifan dilakukan tanpa melalui pemeriksaan atau sidang disiplin.
Tidak ada pemberitahuan resmi atau tulis kepada yang bersangkutan.
Tidak diberikan kesempatan untuk membela diri.
2. Keputusan Tidak Berdasarkan Substansi Hukum
Contoh: ASN divonis bersalah karena pelanggaran administratif, tetapi diberhentikan tidak hormat seolah melakukan tindak pidana berat.
SK pemberhentian tidak mempertimbangkan isi putusan pengadilan yang sebenarnya tidak membuktikan dakwaan utama.
3. Pelanggaran Hak ASN
Tidak diberikan hak atas keberatan atau banding.
Tidak menerima hak pensiun atau tunjangan padahal belum ada keputusan final.
4. Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
Penonaktifan dilakukan karena motif pribadi, politik, atau tekanan eksternal tanpa dasar hukum.
Contoh Kasus
Seorang ASN divonis 1 tahun karena pelanggaran administratif (bukan korupsi), tetapi tetap diberhentikan tidak hormat tanpa hak pensiun. Padahal dalam persidangan, dakwaan korupsi tidak terbukti.
Solusi: ASN tersebut dapat mengajukan keberatan administratif dan jika ditolak, melanjutkan ke gugatan PTUN.
Solusi Hukum yang Bisa Ditempuh
1. Keberatan Administratif
Ajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan SK penonaktifan.
Sertakan bukti bahwa keputusan tidak sesuai hukum.
2. Gugatan ke PTUN
Jika keberatan ditolak atau tidak ditanggapi, ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dasar hukum: Pasal 129 ayat (1) UU ASN dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN.
3. Pendampingan Hukum
Disarankan untuk didampingi kuasa hukum yang memahami hukum administrasi negara.
Bisa juga meminta bantuan dari Ombudsman RI jika ada dugaan maladministrasi.
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah baru baru ini ada pejabat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), yang baru terperiksa dan di panggil oleh KPK untuk dimintai keterangan akan tetapi pejabat tersebut langsung di nonaktifkan dari jabatannya. Padahal ada beberapa pejabat yang di panggil sebagai terperiksa oleh KPK tidak di nonaktifkan pejabat tersebut. Ini dinilai tidak adil menurut beberapa sumber yang dihimpun oleh penulis. Kalau itu kewenangan hukum administrasi seharusnya hukum berlaku untuk semua orang terperiksa tidak tebang pilih. (***)






